
Menebalkan Imunitas Rohani Siswa
Dalam ilmu kedokteran, sistem imunitas atau daya tahan tubuh mempunyai arti yang sangat penting bagi kesehatan manusia. Oleh karenanya, imunitas tubuh harus dijaga dengan sebaik-baiknya agar manusia tidak mudah diserang oleh penyakit. Daya tahan tubuh atau sistem imun yang baik dapat melindungi manusia sejak awal dari kuman penyebab penyakit yang masuk ke dalam tubuh.
Berangkat dari gagasan tersebut, memiliki sistem imun yang baik merupakan hal penting bagi upaya mencegah masuknya berbagai kuman penyakit ke dalam tubuh, terlebih pada masa mewabahnya virus corona disease (Covid-19) saat ini. Namun, dalam kenyataannya, sistem imun (daya tahan) tubuh manusia yang harus dijaga tidak hanya menyangkut sistem imun secara fisik, tetapi juga sistem imun secara psikologis. Artinya, manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini tidak hanya harus melihat tubuhnya sebagai bagian dari dunia material, tetapi juga sebagai bagian dari dunia immaterial. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan agama (pengetahuan spiritual) dalam menjaga kesehatan tubuh manusia, baik secara fisik maupun secara psikis. Terkait hal tersebut, menumbuhkembangkan imunitas rohani manusia menjadi persoalan menarik untuk dikaji.
Jika persoalan ini dilihat dari perspektif Auguste Comte, memang seakan tampak ada persoalan yang bersifat paradoks. Betapa tidak, Comte dengan paham positivismenya secara tegas menyatakan bahwa pengetahuan positif merupakan dasar perkembangan peradaban umat manusia di seluruh dunia, sehingga pengetahuan agama hanya dipandang sebagai dasar menuju pengetahuan ilmiah (positif). Karena itu, menurut Comte, jika manusia ingin sehat, cerdas, dan beradab, maka mereka harus mengikuti garis tunggal perkembangan pikiran manusia, yakni mulai dari fase pemikiran teologis, metafisik, hingga ilmiah atau positif.
Paradoksnya, gagasan yang dikembangkan Comte tersebut teruji ketika akal sehat manusia tidak lagi sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan hidup yang dihadapi manusia. Ketika itulah para ilmuwan Barat kembali menoleh pada kemuliaan Filsafat Timur, yang kemudian dikembangkan menjadi Emotional and Spiritual Quotient (ESQ) dalam rangka menguatkan imunitas tubuh manusia dari aspek kerohanian. Dalam bahasa psikologi, ESQ memberikan ruang bagi pengembangan kematangan emosional dan spiritual seseorang dalam mencapai keberhasilan atau kesuksesannya dalam menjalani berbagai sistem sosial dalam kehidupan masyarakat.
Berangkat dari gagasan tersebut, dapat dikembangkan sebuah kerangka pemikiran tentang betapa pentingnya menumbuhkembangkan imunitas rohani manusia sejak dini, agar dalam menjalani kehidupan yang penuh dinamika, terutama di era postmodern saat ini, manusia dapat menjalaninya dengan sukses dan berdaya saing tinggi. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menumbuhkembangkan imunitas rohani, khususnya di kalangan para siswa, adalah melalui penguatan pendidikan agama dan budi pekerti, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas.
Sementara itu, sistem pendidikan yang berkembang saat ini lebih mengarah pada prinsip-prinsip pragmatisme dibandingkan prinsip-prinsip pencerahan. Jika hal ini dilihat dari perspektif John Dewey, maka dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan yang berkembang, termasuk di Indonesia saat ini, adalah sistem pendidikan yang berbasis filsafat pragmatisme. Filsafat pragmatisme menurut Dewey lebih menekankan hal-hal yang bersifat praktis dan kerja keras, dengan kriteria utama adalah sukses finansial.
Jika dilihat dari perspektif kritis, model pendidikan pragmatis semacam ini akan menghasilkan sikap-sikap sebagai berikut:
- Praktis (practicality)
- Kerja keras (workability)
- Mempunyai nilai uang (cash value)
- Personalisme dan dinamisme
- Menolak kepasrahan (aggressive)
- Pasti bisa kalau ada kemauan
- Menjelajah (achievement status)
- Alam sebagai objek
- Demokratis
- Sekularisme
Melihat kondisi pendidikan semacam ini, maka penulis berasumsi bahwa menumbuhkembangkan imunitas rohani melalui pendidikan agama dan budi pekerti merupakan sesuatu yang sangat penting. Ketahanan daya tubuh manusia dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupan di dunia ini tidak hanya ditentukan oleh sehatnya sel-sel darah putih sebagai sistem imunitas tubuh secara fisik, tetapi juga sangat ditentukan oleh kesehatan rohaninya sebagai imunitas spiritual yang membentengi kehidupan manusia dari aspek psikologis. Oleh karena itu, sangat penting untuk menumbuhkembangkan imunitas rohani sejak dini.
Pasalnya, proses pendidikan yang berkembang selama ini senantiasa diwarnai oleh pemikiran positivistik, yang beranggapan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu positif atau sains, yakni ilmu pengetahuan yang berangkat dari fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur secara ketat. Akibatnya, ilmu pengetahuan yang tidak melakukan verifikasi dan pengukuran secara ketat terhadap fenomena yang menjadi objek garapannya menjadi terpinggirkan. Salah satunya adalah pendidikan agama dan budi pekerti yang tidak melakukan verifikasi dan pengukuran secara ketat terhadap objek material yang dikajinya.
Oleh karena itu, sekali lagi menurut hemat penulis, pendidikan agama, budi pekerti, dan pendidikan humaniora lainnya harus direposisi sesuai tugas dan fungsinya masing-masing, sehingga dalam proses membangun sumber daya manusia terjadi keseimbangan antara kehidupan jasmani dengan kehidupan rohani.