Artikel

Nyepi, Pandemi, Sunyi

Setahun sudah pandemi mengubah kebiasaan hidup umat. Hingar bingar Pulau Seribu Pura berubah sepi. Umat sejenak diajak menepi, merenungi diri. Hingga tak terasa, Nyepi kedua harus dirayakan bersama pandemi. Pergantian tahun, umat diajak kembali introspeksi diri. Nyepi, pandemi, dan sunyi menjadi rangkaian kehidupan normal baru yang harus dibiasakan umat selanjutnya.

Pada Nyepi, umat sudah terbiasa dengan brata (pengendalian diri). Saat Nyepi, umat menjalankan Catur Brata Penyepian, yaitu Amati Karya (tidak bekerja), Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang). Selama pandemi, brata yang umat lakukan bahkan lebih masif melalui protokol 5M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Sebuah pengendalian diri yang hingga kini masih sulit dilakukan secara disiplin, mengingat umat adalah makhluk sosial dengan tradisi gotong royong yang kental. Hingga akhirnya, sunyi tak bisa dihindari. Biasanya acara Yadnya dihadiri ratusan hingga ribuan umat, kini dibatasi hanya 50 orang, misalnya. Sisi baiknya, sunyi menjadi sebab berkurangnya polusi suara dan polusi udara di Bali.

Ditinjau dari dimensi waktu, pada hari Tilem Kasanga terjadi pergantian tahun menurut Caka. Hari Tilem Kasanga ini menandai peralihan tahun Caka dalam perhitungan Hindu Bali. Keadaan ini menyebabkan Hari Nyepi menjadi tahun Caka baru yang jatuh pada Sasih Kadasa. Kata kadasa selain berarti kesepuluh juga dapat diinterpretasikan sebagai sesuatu yang berarti bersih. Oleh karena itu, Hari Raya Nyepi yang diadakan pada paruh terang pertama (penanggal pisan) masa kesepuluh (Sasih Kadasa) dipandang sebagai hari bersih untuk memulai lembaran hidup baru di tahun Caka yang baru.

Setelah setahun hidup dengan pengendalian diri, apakah pada tahun yang baru ini umat telah terbiasa? Sebab tak ada yang tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Sebab bukan hanya Bali yang merasakan, melainkan seluruh dunia.

Menarik garis makna kadasa sebagai sepuluh yang diartikan sebagai bersih, brata yang umat lakukan selama pandemi hendaknya dipandang sebagai momen bersih-bersih diri (bhuana alit) dan semesta (bhuana agung). Bahwa selama ini, bhuana alit telah dikuasai oleh sifat rajas (keserakahan) dan tamas (kenafsuan) dalam mencapai tujuan kehidupan. Selama Bali menjadi destinasi pariwisata dunia, bhuana agung pun terkena dampak buruknya, mulai dari pencemaran lingkungan akibat sampah, alih fungsi lahan, hingga persoalan krisis air.

Selain itu, harus ada langkah penyeimbangan dalam bersih-bersih pikiran. Mengapa mebanten menggunakan sajen yang akhirnya menimbulkan banyak sampah? Mengapa brata harus dilakukan saat Nyepi? Maka tidak ada jawaban "nak mulo keto" terhadap segala hal yang dilakukan umat, termasuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebab, yakinlah bahwa segala hal tersebut memiliki makna yang harus dimaknai.